SERANG, HD7.id – Aroma dugaan korupsi kembali mengemuka dari balik proses administratif Kejaksaan Negeri (Kejari) Serang. Penyerahan aset negara yang seharusnya menjadi bukti transparansi, kini terindikasi menjadi sarana untuk skandal yang melibatkan ratusan ton timah hitam dan dana lelang senilai belasan miliar rupiah.
Modus "Besi Tua": 300 Ton Timah Hitam Raib ke Pasar Gelap?
Dugaan penjarahan aset negara bermodus lelang "besi tua" (sampah logam) terungkap saat proses pemotongan bangkai kapal patah milik negara dimulai. Kapal tersebut telah dilelang melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Serang dengan Risalah Lelang Nomor 1079/06.01/2024/-01, dan disinyalir membawa "muatan gelap" berupa 300 ton timah hitam di dalam lambungnya.
Ironisnya, muatan bernilai miliaran rupiah ini tidak tercatat dalam dokumen resmi Aparat Penegak Hukum (APH). Tidak dianggap sebagai barang sitaan, namun diduga kuat ikut "terangkut" oleh pemenang lelang sebagai bonus ilegal.
"Ini bukan sekadar kelalaian administratif, melainkan dugaan penjarahan terstruktur. Kapal dilelang sebagai rongsokan, tapi isinya timah berharga yang tidak tercatat. Ada potensi kerugian negara yang masif di sini," ungkap sumber internal yang bersedia berbicara dengan redaksi dengan syarat anonim.
Dana Rp19 Miliar: Belum Masuk Kas Negara?
Selain masalah muatan, aliran dana hasil lelang senilai Rp19 miliar per tanggal 7 Januari 2025 juga memicu pertanyaan. Informasi yang dikumpulkan menunjukkan dana tersebut belum masuk ke kas negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), melainkan diduga masih berada di rekening bank swasta.
Jika informasi tersebut terbukti benar, muncul desakan bagi Kajari Serang Dr. Lulus Mustofa, S.H., M.H., serta dua pejabat penandatangan Berita Acara Serah Terima (BAST) yaitu Merryon Hariputra dan Aditya Nugroho, untuk menjelaskan mengapa prosedur keuangan negara tidak dipatuhi.
Rapor Merah ICW: Kegagalan Reformasi St Burhanuddin
Skandal di Serang ini seolah memvalidasi kritik yang dilontarkan Indonesia Corruption Watch (ICW) terhadap Jaksa Agung Sanitiar (St) Burhanuddin. Lembaga anti-korupsi tersebut menilai beliau gagal melakukan reformasi birokrasi di dalam Korps Adhyaksa.
ICW mencatat sejumlah poin krusial yang merusak kredibilitas Kejaksaan, antara lain:
• Sejak 2019, sedikitnya tujuh jaksa terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang menunjukkan pengawasan internal hanyalah simbolis.
• Adanya pimpinan KPK berlatar belakang jaksa dikhawatirkan menurunkan objektivitas penanganan kasus jaksa korup karena faktor loyalitas korps.
• Langkah KPK menyerahkan berkas perkara jaksa OTT di Banten kembali ke Kejaksaan Agung dianggap melemahkan independensi dan menyuburkan impunitas.
Konspirasi Membisu: Siapa yang Dilindungi?
Hingga Jumat (26/12/2025), pihak berwenang tetap memelihara keheningan. Kasubdit Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten tidak bersedia memberikan keterangan apapun. Ketertutupan ini memperkuat spekulasi adanya "kekuatan besar" yang melindungi peredaran timah ilegal tersebut ke pasar gelap.
Kini, tanggung jawab besar berada di pundak Jaksa Agung. Apakah beliau akan bertindak tegas untuk membongkar kebenaran di balik kapal yang mendadak "bersih" di Serang, atau skandal ini hanya akan menambah daftar kegagalan reformasi di bawah kepemimpinannya? Publik menantikan pembersihan nyata, bukan sekadar seremonial.***

