Jakarta, HD7.id – Sengketa hukum merek Persaudaraan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) kembali mengangkat kontroversi dan menimbulkan kekhawatiran mendalam terhadap tatanan kepastian hukum nasional.
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang mengabulkan gugatan atas Surat Keputusan (SK) Menteri Hukum dan HAM tentang pembatalan merek PITI dinilai bertentangan dengan putusan perdata yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Riwayat perkara menunjukkan, sengketa pembatalan merek PITI pada 2023 telah disidik oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat melalui Putusan Nomor 32/Pdt.Sus-HKI/Merek/2023/PN.Niaga.Jkt.Pst.
Dalam putusan itu, gugatan yang diajukan Persatuan Islam Tionghoa (PITI) ditolak, dan kepemilikan sah merek dinyatakan berada pada Persaudaraan Islam Tionghoa Indonesia yang dipimpin Dr. Ipong Wijaya Kusuma.
Upaya kasasi oleh penggugat pada 2024 juga tidak berhasil. Mahkamah Agung secara tegas menolak melalui Putusan Nomor 618 K/Pdt.Sus-HKI/2024, sehingga menegaskan status hukum kepemilikan merek sebagai final dan mengikat.
Ironisnya, pada 2025 terbit SK Menteri Hukum dan HAM Nomor HKI.4-KI.06.07.03-1569 yang membatalkan merek PITI milik tergugat.
SK tersebut kemudian digugat dan dikabulkan oleh PTUN Jakarta, meskipun substansi kepemilikan telah diputus secara final oleh Mahkamah Agung.
Kondisi ini menjadi sorotan publik hukum karena bertentangan dengan prinsip inkracht van gewijsde sebagaimana Pasal 191 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Putusan perdata yang telah final seharusnya tidak dapat dianulir secara tidak langsung melalui jalur administrasi negara.
Menanggapi polemik, Ketua Umum DPP Perkumpulan Wartawan Online Dwipantara, Feri Rusdiono, menyampaikan kritik keras.
Ia menilai putusan PTUN bukan sekadar kekeliruan hukum, melainkan pembangkangan terhadap Mahkamah Agung.
“Ini bukan lagi soal perbedaan tafsir hukum. Ini adalah pembangkangan terbuka terhadap putusan Mahkamah Agung. Ketika PTUN berani menilai ulang kepemilikan merek yang sudah inkracht, maka yang terjadi adalah kudeta hukum melalui jalur administrasi,” tegas Feri pada Jumat (19/12/25).
Menurutnya, putusan tersebut merupakan racun mematikan bagi negara hukum karena meruntuhkan wibawa peradilan tertinggi. Ia bahkan menuding adanya pola rekayasa hukum yang terstruktur dan sistematis.
“Kalah di perdata, lalu ganti baju lewat administrasi. Ini modus busuk yang membuka karpet merah bagi mafia perkara dan mengubah hukum menjadi alat transaksi kepentingan,” ujarnya.
Senada dengan itu, Ketua DPC Federasi Advokat Indonesia Pemalang, Aji Suriyanto, SH., MH., menilai putusan PTUN sebagai preseden yang sangat berbahaya.
“Ketika suatu perkara perdata, termasuk sengketa merek, telah diputus final dan mengikat, tidak ada ruang hukum untuk membuka kembali perkara yang sama dengan dalih apa pun, termasuk rekayasa subjek tergugat,” tegas Aji.
Ia menambahkan bahwa tindakan tersebut secara terang-terangan melanggar asas res judicata pro veritate habetur dan mencederai prinsip kepastian hukum yang dijamin konstitusi.
“Penambahan nama tergugat atau perubahan struktur organisasi tidak menghapus hak hukum yang telah ditetapkan dalam putusan inkracht. Jika praktik ini dibenarkan, maka tidak ada lagi putusan pengadilan yang benar-benar final,” pungkasnya.
Kasus PITI kini dipandang sebagai alarm nasional yang memperlihatkan ketidakselarasan serius antara peradilan perdata, Mahkamah Agung, dan administrasi negara.
Putusan PTUN yang menguatkan penggugat berpotensi melemahkan kredibilitas Mahkamah Agung dan membuka ruang pengulangan sengketa melalui jalur administratif.
Publik hukum menilai Mahkamah Agung perlu melakukan koreksi terhadap putusan PTUN agar prinsip finalitas putusan tetap dihormati.
Sementara itu, Kementerian Hukum dan HAM didesak memastikan setiap keputusan administratif tidak bertentangan dengan fakta hukum yang telah diputus secara final.
Kasus ini menjadi cermin rapuhnya koordinasi antar-lembaga hukum dan administrasi negara.
Reformasi serius dinilai mutlak diperlukan agar kepastian hukum tidak terus tergerus dan negara hukum tidak berubah menjadi arena akal-akalan kekuasaan. (Redaksi/*)

